Translate

Minggu, 27 Oktober 2013

Satu Kata ... "YA !!!"

Jemari jemariku bergetar menutup telpon genggam itu, masih terekam jelas  barisan kalimat-kalimat yang baru saja ku baca. Seperti Guntur yang menggelegar disiang hari yang cerah, aku tersentak kaget. Ada sengatan yang menjalar rasanya di tubuh ini, perih. Bagaikan mulut yang dibungkam kuat, aku terdiam membisu seribu bahasa. Hawa dingin menjalari sekujur nafsiku hingga sampai pada bulu kuduk yang membuatku merinding. Sejenak, aku sulit bernafas, sesak. Tulang-tulang penyusun rangka tubuh ini pun mulai berguguran, rapuh seperti termakan rayap, aku lemas tak berdaya. Menunduk dalam-dalam. Tanpa  adanya peringatan dan aba-aba, dua bulir air bening jatuh. Jatuh bersama terjatuhnya aku diatas bumi ini. Perlahan dalam hitungan detik dua bulir air bening menjelma seperti bendungan yang bocor. Penopangnya telah ambruk, tak sanggup lagi menahan arus yang terlalu menyesakkan itu. Dan akhirnya, semuanya tumpah. Aku menangis sejadi-jadinya tanpa suara. Hatiku terasa berteriak sangat kencang, namun hanya aku sendiri yang mampu mendengarnya. Aku menangis.

Masih tidak percaya atas kabar yang baru ku dapatkan. Aku terdiam mengingat semua kejadian yang ku alami akhir-akhir ini bersamanya. Masih juga tidak percaya. Logika ku berkali menolak bahwa hal ini tidak mungkin. Aku meyakinkan berkali-kali kalau ini hanyalah bunga tidur, aku pasti sedang bermimpi. Aku akan bangun segera. Aku berharap tiba-tiba ada hujan dimana aku terbangun karna diguyur teman sekamarku, atau tiba-tiba aku masuk jurang, dimana saat bangun ternyata aku jatuh dari tempat tidurku. Tapi sekali lagi, aku sadar ini bukan mimpi. Ini kenyataan hari ini. Aku ingat hari ini adalah hari ahad, tanggal 27 oktober 2013, aku baru saja menyelesaikan olahraga rutin bersama teman-teman hingga ku dapati telpon genggam ku yang menyimpan 7 panggilan tak terjawab dan  9 pesan yang isinya sama. Aku ingat, kalau tadi aku bersama teman-temanku dimeja makan , aku izin mau ke kamar mandi sebentar , dan jika ini adalah mimpi tentu saja aku tidak berada di depan lorong kamar mandi ini sekarang.

Aku tetap saja tidak percaya, bersikeras bahwa ini adalah hanya di alam mimpi. Aku keluar dari lorong memastikan ingatanku. Dari jarak 5 meter aku melihat 3 orang teman-teman ku, Nana, Lusi, dan Yani yang sedang makan disalah satu meja disudut kantin ini. Lusi melirik ke arah ku dan melambaikan tangan sambil tersenyum  manis. Aku terdiam, sekali lagi aku hanya bisa terdiam. Kepalaku terasa sangat berat, seperti berputar-putar  tidak karuan, seluruh badanku terasa lemas dan tiba-tiba semua menjadi samar-samar. Ku paksakan diri melangkah menuju ke meja tempat aku melihat teman-teman ku, sesaat semua mulai gelap.

Aku mulai membuka mata, perih. Sedikit terasa menyilaukan mata, diruangan serba putih ini. Perlahan mulai jelas dan kulihat satu persatu wajah teman-temanku.

“ri, syukurlah kamu sadar. Kami khawatir” ucap Nana sambil memeluk ku.

“iya ri, kamu kenapa? Kamu kurang istirahat ya akhir-akhir ini? Pokoknya kami akan jagain kamu, kamu tidak boleh tidur larut malam lagi ya” ucap Yani sambil memegang tanganku.

Aku mulai bingung. Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba aku berada diruangan seperti ini dengan kondisi ada selang  hijau yang menempel di pergelangan tanganku. Aku mencoba duduk, namun terasa sangat sakit dan kepalaku masih terasa berat, aku meringis.

“ri, sudahlah, tiduran saja, kami disini kok bersamamu. Maafkan kami ya ri” ucap Lusi sembari membenarkan posisi bantal.

“lusi, na, yani? Kenapa aku disini? Apa yang baru saja aku alami? Aku belum ingat” ujar ku kepada ketiga teman-temanku. Mereka hanya menunduk dan terlihat sedih. Lama aku menunggu jawaban dari mereka yang saling membisu.

“lusi? Ada apa? handphone ku dimana ya?” tanya ku pada Lusi
Seketika aku terdiam. Handphone. Aku mengingat apa yang terjadi sebelum aku diruangan ini. Aku tersentak. Terdiam. Lalu dengan segala kepanikan aku mencari-cari telpon genggamku. Aku merogoh semua kantong bajuku, dan memeriksa tas yang ada disamping ku. Aku tidak menemukannya juga. Aku panik.

“sudahlah ri. Cukup .” ucap Lusi sambil menangis memelukku
Aku tidak menghiraukan Lusi dan teman-temanku. Aku tetap mencari telpon genggamku, airmata tak hentinya mengalir bersama kepanikan ku.

“Suri, sudah, hentikan. Tenang Suri dia akan baik-baik saja” ucap Yani sambil menenangkanku
Aku terdiam. Menutup wajah dengan kedua telapak tanganku sambil menahan airmata yang tak henti membasahi pipiku. Aku terisak dalam diam. Ketiga teman-temanku memelukku. Aku semakin terisak dan hatiku menjerit.

“ maafkan aku Suri. Maafkan aku. Sebenarnya aku telah lama tau kondisi Agung. Jujur aku tak sengaja mendengar saat dia lagi nelvon mama nya saat kita bikin jurnal di perpus 7 bulan lau. Waktu itu aku mau segera memberitahukanmu, tapi  Agung melarangku. Dia sangat mengkhawatirkan perasaanmu jika mengetahui kondisi dia sebenarnya. Aku tak bisa berbuat apa-apa ri. Aku bingung, plis maafin aku ri” ucap Lusi tertunduk

Aku hanya terdiam. Sekali lagi aku hanya bisa diam, mengela nafas panjang dan membuangnya lirih.

***

Teringat 7 bulan lalu, saat aku masih sangat dekat dengan Agung, sahabatku. Agung menemaniku dan teman-temanku menyelesaikan tugas jurnal. Agung sebagai orang yang telah berpengalaman dalam hal tulis menulis sengaja kami minta menjadi editor untuk merevisi tugas jurnal kami. Aku telah lama bersahabat dengan Agung. Sahabat yang sangat dekat. Aku mengenal Agung saat pertamakali menginjakkan kaki dikampus tercinta. Waktu itu aku hampir keserempet motor, hingga barang-barang bawaan ku dari rumah berserakan dijalan. Sipengendara motor itu berhenti dan membantu membereskan barang2ku, bahkan mengantarkanku hingga tempat kos ku yang tidak jauh dari kampus. Itulah pertamakali aku mengenal Agung. Pertamakali aku bertemu dan dengan hormat dia memintaku untuk menjadi sahabatnya. Saat itu aku mulai bersahabat dengan Agung.

Agung  dan aku seperti  sahabat yang sangat klop, sebenarnya Agung lebih menganggap aku sebagai seorang adik katanya, karna kami terpaut usia 3 tahun. Sedangkan aku terbiasa saja dengan istilah “persahabatan”. Pernah sekali  Agung minta aku panggil sebutan ‘Kakak’ padanya, tapi aku menolak dengan caraku, karna terasa aneh bagiku dengan sebutan itu. Aku terlebih dahulu mengenal Agung sebagai seorang sahabat, maka selamanya adalah sahabat. Begitu definisiku.

Hari-hari berikutnya aku lebih sering bersama teman-teman baruku Nana, Yani dan Lusi yang satu kosan denganku. Mereka bertiga juga mengenal  Agung karna Agung sering menemaniku pulang dari kampus. Terutama Lusi, teman sekamarku, yang ternyata pernah satu kompleks saat masih di Bandung dulu sebelum Agung pindah ke Solo. Aku bersahabat dengan ketiga teman perempuan ku, dan juga Agung. Aku mengenal keluarga dari sahabat-sahabatku itu, sekali sebulan kami berkunjung kerumah masing-masing tak terkecuali Agung. Kami menjadi  sangat dekat.

Hingga suatu hari, hari yang sangat penting dalam hidupku. Hari yang sangat berjuta rasanya. Hari itu Jum’at malam, Agung bersama kedua orangtuanya datang kerumahku dengan suasana yang agak berbeda dari biasanya. Agung resmi melamarku. Aku terkejut. Senang ataukah sedih? bercampur haru, bingung, dan setengah tidak percaya. Agung yang selama ini lebih ku anggap seperti sahabat baik ku, dan ku kira Agung lebih menganggapku sebagai seorang adik. Aku sungguh tidak percaya, hingga sulit bagiku mengambil sebuah keputusan karna memang aku belum siap dengan kondisi seperti ini. Sama sekali tak pernah terlintas difikiranku.

Malam itu, ku lihat Agung berpakaian rapi. Rapi sekali dan terlihat sangat berbeda dari hari biasanya. Aku sedikit pangling. Namun, menoleh kebelakang ku dapati secarik mozaik, apakah aku pantas untuk pemuda sesempurna Agung? Apa aku siap dengan segala konsekuensi nantinya jika aku menerima lamaran ini? Otak ku berfikir. Agung yang bisa dibilang perfect dikalangan anak muda seusianya pastilah banyak yang mengincarnya. Tentulah akan banyak yang melirik sebelah mata jika aku bersanding dengan dia. Lagi pula, aku terlanjur menganggap Agung seperti sahabat, selamanya sahabat. Dan hal yang terpenting adalah, aku tidak merasakan ada getaran-getaran istimewa saat aku bersama Agung. Aku kembali merasuki logika ku, apakah aku tega menolak lamaran orang sebaik Agung? Apakah aku tega mempermalukan Agung dengan ke-sok jual mahal-an aku padanya? Apa pendapat orang-orang nantinya gadis seperti ku berani-berani nya menolak lamaran seorang Agung?

Fikiran ku berkecamuk. Bingung. Satu per satu kata yang dapat ku cerna ku urai. Mencoba mencari kesimpulan dan membuat keputusan sebijaksana mungkin. Dan saat terdengar namaku ditanyai lagi atas jawabannya, aku gugup. Sekalipun aku tak berani memandang ke  arah Agung. Aku terlalu pemalu untuk hal ini. Aku menghela nafas panjang. Aku mulai mengangkat kepalaku, sekilas mataku beradu pandang dengan Agung, kulihat dia sangat tenang. Darahku berdesir. Aku mulai berkeringat dingin. Entah apa yang merasukiku, dengan berusaha tenang aku coba menjawab pertanyaan itu;

“bismillah. Terimakasih sebelumnya kepada keluarga Bapak dan Ibu Ridwan atas silaturrahimnya bersama Agung. Jujur Pak, Bu, saya sedikit terkejut. Saya akan memberi jawaban atas lamaran ini dalam waktu 6 bulan kedepan. Jika Ibu, Bapak, atau Agung tidak bersabar atas waktu yang saya tentukan, mungkin bukan saya orang yang tepat untuk Agung.”

Aku menunduk, mengatur ritme nafasku. Jantungku sudah bergemuruh tak karuan. Terdengar suara berbisik-bisik. Aku memejamkan mata demi mempersiapkan diri menerima respon dari keluarganya Agung.
“Putri Suri Vitrani, insyAllah aku akan menunggu dengan kesabaran hingga batas waktu yang kau tentukan.” Ucap Agung, sangat tenang dan bijaksana

Aku menghela nafas panjang. Prosesi lamaran malam itu berakhir dengan perasaan masing-masing dalam diriku, keluargaku, Agung dan keluarganya. Rasanya sangat aneh aku meminta waktu selama itu? Bayangkan satu semester dimasa perkuliahan, apa yang harus ku lakukan? Apa benar aku akan menumbuhkan perasaan suka pada Agung dalam waktu 6 bulan? Lalu dengan senang hati berkata menerimanya? Atau aku tetap menolak dengan alasan persahabatan? Dengan menunggu selama 6 bulan dan Agung mendapatkan keputusan ‘tidak’? malam itu, aku tidak bisa tidur. Ada beban fikiran tersendiri dari efek lamaran ini. Entah apa yang terjadi pada Agung sekarang, aku tak terlalu mau menerka-nerka perasaannya saat ini. Sangat sulit memejamkan mata hingga dini hari sekitar pukul 04.16 WIB aku baru mulai merebahkan tubuh diatas kasur.
Setelah malam prosesi  lamaran itu, aku jadi agak canggung untuk bertemu Agung. Aku lebih sering menghindar dari Agung. Bukan karna apa-apa, tapi aku hanya merasa tidak enak dan malu pada Agung. Akhirnya aku menyibukkan diri dengan teman-teman dikosan ku. Membuat berbagai karya. Mulai dari lomba paper, essay, belajar masak bahkan sampai mengajar privat di salah satu tempat bimbel milik orangtua Yani.

Hari-hariku berlalu tanpa Agung, yang ternyata juga tengah sibuk dengan proyeknya di luar kota. Jadilah aku dan Agung benar-benar terpisah dari jarak dan waktu. Aku mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Sepertinya telah terjadi sesuatu padaku. Akhir-akhir ini aku lebih sering melamun, lebih senang sendirian memandangi foto-foto yang ada di laptop. Terkadang tanpa sengaja aku larut dalam alunan musik klasik hingga aku menitikkan airmata saking menghayati lirik lagu tersebut. Terkadang juga, aku sangat ceria, sangat bahagia, tersenyum tidak jelas. Tapi dilain waktu teman-teman sering mendapatiku sedang duduk termenung  dibalik jendela kamar sambil memandangi bunga-bunga merah itu.

Pernah sekali, teman-teman meledekku karna aku ketahuan menulis sebuah puisi romantis. Hal yang sangat tidak biasa ku lakukan. Aku bukan tipe gadis melankolis yang menyukai puisi, apalagi menulisnya. Namun entah motivasi dari mana tiba-tiba bait demi bait begitu lancer ku tulis dalam selembar kertas bergambar bunga mawar merah. Puisi tentang sebuah kerinduan. Rindu. Ya, aku teringat seseorang saat menuliskannya. Aku merindukan seseorang. Aku sangat rindu. Mungkinkah kerinduan ini yang membuatku sering bertingkah aneh dari biasanya? Atau bisa jadi, apa aku mulai menaruh rasa pada orang ini? Aku tak menjawab terlalu cepat. Aku belum bisa menterjemahkannya

Lima bulan berlalu, bukan waktu yang cepat bagiku. Lima bulan benar-benar aku tak pernah bertemu lagi dengan Agung, sahabatku. Ada rasa yang berkecamuk. Memang benar, telah terjadi sesuatu padaku. Entah mulai kapan, entah bagaimana, entah kenapa, aku pun tak dapat menjelaskannya. Ada sebuah harapan, ada sebuah keinginan, dan ada sebuah taman yang mulai bermekaran dihatiku. Aku tau, bahwa tepat satu bulan lagi, aku akan memberikan sebuah jawaban kepada Agung. Aku menanti kedatangannya. Aku ingin segera ia tau bahwa aku juga mempunyai rasa yang sama. Aku menjadi terpenjara sendiri dalam batas waktu yang ku tentukan dulu. Satu bulan. Lama ku rasa sekarang.

Enam bulan. Akhirnya. Tepat hari jum’at  Agung akan kerumahku lagi untuk meminta jawaban dariku. Dan aku sudah siap memberikan jawaban itu. Aku mempersiapkan segalanya. Aku mempersiapkan baju terbaik, dan wajah secerah mungkin untuk menyambut kedatangannya. Kedua orangtuaku seperti mengerti akan jawaban yang akan ku berikan. Mereka sangat mendukungku. Hari ini terlihat sangat cerah dan sempurna. Aku bahagia. Tak sabar menunggu malam tiba.

Kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul 9 malam, aku mulai resah. Harusnya jam 7 malam ini Agung sudah datang kerumahku. Bahkan sampai sekarang tak ada kabar darinya, atau pun keluarganya. Aku masih tetap menunggu. Hingga tak sadar Ibu membangunkanku yang ketiduran di ruang tengah. Menyuruhku untuk pindah ke kamar. Ku lihat arloji, pukul 3 pagi pikirku. Aku memandang ibu, dan hanya gelengan kepala yang kudapati. Aku kecewa. Sebenar-benarnya kecewa. Sedih dan sangat menyakitkan terasa. Aku mulai berfikir aneh lagi. Apakah Agung lupa hari ini tepat 6 bulan setelah hari itu? Apakah Agung sudah melupakanku? Apa Agung tidak sabar menunggu terlalu lama hingga ia telah suka pada gadis lain ditempat kerjanya? Apakah salahku yang membentangkan waktu terlalu lama? Aku bingung. Aku sedih. Dan aku, menangis.

Seminggu setelah itu aku tak jua menerima kabar dari Agung. Aku tak tau dia dimana dan apa yang terjadi padanya sekarang. aku lebih sering diam dan sangat menutup diri. Aku telah berazzam, tak kan mengatakan atau pun menanyakan apaun tentang Agung pada siapa pun , termasuk teman-teman kosanku. Aku mulai membencinya, tega sekali dia menggantungkan aku seperti ini. Bukankah seharusnya dia yang menungguku dengan pengharapan? Kenapa sekarang hal itu yang terjadi padaku. Aku sangat kesal. Kenapa aku memberikan kesempatan untuk perasaan itu tumbuh? Ya Tuhan, aku membencinya, walau batinku  tak bisa berbohong bahwa aku mencintainya dan ingin dia datang.

Hingga sekarang, hari ini, pagi tadi saat dikantin dekat kampus ku terima 9 pesan dan 7 panggilan tak terjawab dari nomor handphone nya Agung. Pesan singkat yang membuatku menangis, bahkan hingga saat ini,

“Suri, maafkan aku. Harusnya aku datang seminggu yg lalu kerumahmu untuk menagih jawaban itu. Tapi sekali lagi maaf membuatmu menunggu, 10 hari yg lalu aku berangkat ke London utk menjalani operasi jantungku yg semakin tidak berfungsi. Akan sangat senang jika jantungku masih bisa bergetar saat menemuimu nanti. Doakan aku.
Yang senantiasa menunggumu”

***

Dalam hati, aku berjanji. Akan ku katakan segala hal yang ingin kau dengar. Tak kan ku ulur lagi walau sedetik untuk mengatakan jawaban itu. Walau sekali, tolong dengarkan aku mengatakannya padamu. Aku akan sangat menyesal jika kau tak sempat mendengarnya langsung dariku.  Dan, akan kukatakan “Ya…” untuk setiap detak jantungmu.

Dikutip dari curhatan sang teman, "Yamanef"

4 komentar:

  1. hmm, bagus banget isi ceritanya, emhh atau bisa jadi 'kisahnya' (sepertinya ini nyata).
    kembangkan terus bakat menulismu, Lina!
    Yamanef menginspirasi :)

    BalasHapus
  2. makasih ira ...
    tulisan ira lebih bagus
    ini dikutip dari kisah nyata, tapi ada beberapa perubahan nama dan beberapa kisah. namanya juga cerita fiksi, butuh sedikit pemanis :)

    BalasHapus
  3. Ternyata Lina pinter nulis yaa,, bakat yg tersembunyi nih :)

    BalasHapus