Translate

Selasa, 01 April 2014

UANG KULIAH TUNGGAL (UKT), PELUANG ATAU ANCAMAN?

Uang kuliah tunggal atau familiar dengan sebutan UKT baru-baru ini meramaikan dunia pendidikan khususnya di perguruan tinggi negeri. Banyak pihak yang pro dan kontra dengan kebijakan baru ini. Pasalnya, UKT tidaklah memberikan solusi untuk permasalahan biaya pendidikan bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi kalangan menengah ke bawah yang bercita-cita mengenyam pendidikan di bangku kuliah.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud) menjadi kementerian yang paling disorot di Tahun 2013. Kementerian yang dikepalai oleh Bapak M. Nuh ini mengeluarkan berbagai kebijakan yang fenomenal mulai dari perubahan kurikulum pembelajaran; penambahan jumlah paket soal dalam Ujian Nasional; proses seleksi masuk perguruan tinggai; dan penentuan uang kuliah tunggal yang di mulai pada mahasiswa angkatan 2013/2014.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Nomor 55 Tahun 2013 tentang Uang Kuliah Tunggal, UKT adalah sebagian biaya kuliah tunggal ditanggung setiap mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya, ditetapkan berdasarkan biaya kuliah tunggal dikurangi biaya yang ditanggung oleh Pemerintah. Biaya yang ditanggung oleh pemerintah merupakan amanat UU No. 12 tahun 2012, Bahwa berdasar pasal 83, Pemerintah menyediakan dana Pendidikan Tinggi yang dialokasikan dalam APBN dan Pemda dapat memberikan dukungan dana pendidikan tinggi yang dilokasikan dalan APBD. UKT ini terdiri atas beberapa kelompok yang ditentukan berdasarkan kelompok kemampuan ekonomi masyarakat (proposional). Pembagian kelompok-kelompok ini dimaksudkan agar semua masyarakat dapat mengenyam pendidikan perguruan tinggi, dengan sistem subsidi silang, “Si Kaya membantu Si Miskin”.
Apabila pemerintah telah menyediakan dana pendidikan tinggi, lantas apakah mahasiswa masih harus ikut menanggung biaya pendidikannya? Jawabannya adalah IYA,  karena dalam Pasal 76 ayat (3) UU 12/2012 menjelaskan “Perguruan Tinggi atau penyelenggara Perguruan Tinggi menerima pembayaran yang ikut ditanggung oleh Mahasiswa untuk membiayai studinya sesuai dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak yang membiayainya.” Ketentuan lebih lanjut tentang Pasal 76 ayat (3) tersebut diatur dalam peraturan menteri.  
Pasal 88 ayat (4) UU 12/2012 memberikan aturan kepada Perguruan Tinggi Negeri untuk menetapkan biaya yang ditanggung oleh Mahasiswa, yaitu harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya. Dan dalam ayat (5) menjelaskan ketentuan lebih lanjut mengenai standar satuan biaya operasional Pendidikan Tinggi diatur dalam Peraturan Menteri. Maka nampak jelas bahwa UU 12/2012 di dalam Pasal mengamanatkan untuk dibentuknya peraturan menteri terkait biaya pada pendidikan perguruan tinggi.
Amanat UU 12/2012 saat ini telah dilaksanakan, Kemendikbud akhirnya mengeluarkan Permendikbud No. 55/2013 untuk mengatur biaya kuliah tunggal, kini uang kuliah tunggal ditanggung oleh mahasiswa angkatan tahun 2013/2014. Sebelum Permendikbud No. 55/2013 dibuat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) melakukan kewenangan bebasnya untuk mengeluarkan Surat Edaran tentang UKT pada tanggal 5 Februari 2013, Surat Edaran (SE) dengan Nomor 97/E/KU/2013. SE No. 97/E/KU/2013 tersebut meminta agar perguruan tinggi untuk menghapus uang pangkal mahasiswa baru program S1 reguler mulai tahun akademik 2013/2014, serta menetapkan dan melaksanakan tarif UKT bagi mahasiswa baru program S1 reguler mulai tahun akademik 2013/2014.
Setelah SE No. 97/E/KU/2013 dikeluarkan, beberapa bulan kemudian disusul dengan terbitnya SE No. 272/El.l/KU/2013 pada tanggal 3 April 2013 yang sama masih mengatur tentang UKT. Pada SE No.272/E1.1/KU/2013 memberikan aturan kepada perguruan tinggi yang akan menetapkan tarif UKT agar sesuai dengan amanat yang diberikan oleh undang-undang, aturan itu sebagai berikut:
1.      Tarif UKT sebaiknya dibagi atas 5 kelompok, dari yang paling rendah (kelompok 1) sampai yang paling tinggi (kelompok 5);
2.      Tarif UKT kelompok yang paling rendah (kelompok 1) rentangnya yang bisa dijangkau oleh masyarakat tidak mampu (misal: kuli bangunan, tukang becak, dll), misal Rp0,- s.d. Rp500 000;
3.      Paling sedikit ada 5% dari total mahasiswa yang diterima membayar UKT kelompok 1;
4.      Untuk kelompok 3 s.d. 5 masing-masing membayar UKT sesuai dengan kemarnpuan ekonominya, dirnana kelompok 5 merupakan kelompok dengan UKT tertinggi sesuai dengan program studi masing-masing;
5.      Paling sedikit ada 5% dari total mahasiswa yang diterima membayar UKT kelompok 2 dengan rentang Rp500 000 sampai Rp1 000 000.
Berdasarkan aturan mengenai tariff UKT yang telah ditetapkan, fakta yang terjadi adalah masih banyak mahasiswa yang sebenarnya termasuk pada golongan 1 namun dikenai biaya UKT untuk golongan 4. Ini menunjukkan bahwa UKT tidak tepat sasaran, bahkan bisa dikatakan universitas yang bersangkutan telah asal tembak untuk penentuan tarif UKT kepada mahasiswa baru. Jika kasus seperti ini terjadi kepada banyak mahasiswa, maka UKT bukanlah jalan terbaik untuk mewujudkan UUD ‘45 yakni mencerdaskan kehidupan bangsa. Bagaimana mungkin bangsa ini akan cerdas dan dapat mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi, jika masalah biaya untuk pendidikan masih belum terselesaikan dengan baik.
Pasal 76 ayat 2a dan 2b menjelaskan tentang pemenuhan hak mahasiswa yaitu dengan cara pemberian beasiswa kepada mahasiswa berprestasi dan memberikan bantuan atau membebaskan biaya pendidikan kepada yang membutuhkan. Pada kenyataannya pemberian beasiswa pun masih belum tepat sasaran, mahasiswa yang berasal dari keluarga mampu justru mendapatkan beasiswa yang seharusnya didapatkan oleh mahasiswa yang kurang mampu. Ini merupakan sebuah kelalaian lembaga yang bersangkutan, seharusnya penjaringan dan proses seleksi untuk beasiswa ini lebih diperketat agar tidak salah sasaran seperti yang sudah banyak terjadi di lapangan.
Sosialisasi mengenai UKT di perguruan tinggi dirasa masih sangat minim. Bahkan tidak semua mahasiswa yang ada di perguruan tinggi faham tentang system UKT. Badan eksekutif mahasiswa (BEM) merupakan wadah yang memfasilitasi mahasiswa di perguruan tinggi untuk sosialisasi mengenai UKT, namun kegiatan sosialisai ini masih kurang efektif karena penyampaian yang dilakukan tidak begitu detail sehingga menimbulkan makna ganda tentang UKT. Perhitungan tarif UKT sendiri digolongkan ke dalam lima kluster, dengan kluster 1 adalah golongan UKT paling rendah dan kluster 5 adalah golongan UKT paling tinggi.
Dampak yang dirasakan dengan adanya UKT ini adalah ketika terjadi salah sasaran penentuan kluster. UKT justru akan menjadi ancaman jika ternyata salah sasaran. Mahasiswa korban salah saran yang berasal dari golongan satu bisa saja berhenti kuliah hanya karena tidak mampu membayar UKT yang seharusnya dibayar oleh golongan lima. Akan banyak ketidakadilan yang terjadi jika kebijakan ini tidak dijalankan dengan hati-hati dan penuh perhitungan. Jika sudah seperti itu, maka anak-anak bangsa yang akan menjadi korban dari ketidakadilan yang tidak terrencana ini.


Ketika tujuan UKT adalah untuk memberikan peluang KULIAH kepada mereka yang membutuhkan, apakah kita TEGA merubahnya menjadi ANCAMAN yang menyeramkan untuk MASA DEPAN anak-anak BANGSA ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar