Jemari jemariku bergetar menutup telpon genggam itu, masih
terekam jelas barisan kalimat-kalimat
yang baru saja ku baca. Seperti Guntur yang menggelegar disiang hari yang
cerah, aku tersentak kaget. Ada sengatan yang menjalar rasanya di tubuh ini,
perih. Bagaikan mulut yang dibungkam kuat, aku terdiam membisu seribu bahasa.
Hawa dingin menjalari sekujur nafsiku hingga sampai pada bulu kuduk yang
membuatku merinding. Sejenak, aku sulit bernafas, sesak. Tulang-tulang penyusun
rangka tubuh ini pun mulai berguguran, rapuh seperti termakan rayap, aku lemas
tak berdaya. Menunduk dalam-dalam. Tanpa
adanya peringatan dan aba-aba, dua bulir air bening jatuh. Jatuh bersama
terjatuhnya aku diatas bumi ini. Perlahan dalam hitungan detik dua bulir air
bening menjelma seperti bendungan yang bocor. Penopangnya telah ambruk, tak
sanggup lagi menahan arus yang terlalu menyesakkan itu. Dan akhirnya, semuanya
tumpah. Aku menangis sejadi-jadinya tanpa suara. Hatiku terasa berteriak sangat
kencang, namun hanya aku sendiri yang mampu mendengarnya. Aku menangis.
Masih tidak percaya atas kabar yang baru ku dapatkan. Aku
terdiam mengingat semua kejadian yang ku alami akhir-akhir ini bersamanya.
Masih juga tidak percaya. Logika ku berkali menolak bahwa hal ini tidak
mungkin. Aku meyakinkan berkali-kali kalau ini hanyalah bunga tidur, aku pasti
sedang bermimpi. Aku akan bangun segera. Aku berharap tiba-tiba ada hujan
dimana aku terbangun karna diguyur teman sekamarku, atau tiba-tiba aku masuk
jurang, dimana saat bangun ternyata aku jatuh dari tempat tidurku. Tapi sekali
lagi, aku sadar ini bukan mimpi. Ini kenyataan hari ini. Aku ingat hari ini
adalah hari ahad, tanggal 27 oktober 2013, aku baru saja menyelesaikan olahraga
rutin bersama teman-teman hingga ku dapati telpon genggam ku yang menyimpan 7
panggilan tak terjawab dan 9 pesan yang
isinya sama. Aku ingat, kalau tadi aku bersama teman-temanku dimeja makan , aku
izin mau ke kamar mandi sebentar , dan jika ini adalah mimpi tentu saja aku
tidak berada di depan lorong kamar mandi ini sekarang.
Aku tetap saja tidak percaya, bersikeras bahwa ini adalah
hanya di alam mimpi. Aku keluar dari lorong memastikan ingatanku. Dari jarak 5
meter aku melihat 3 orang teman-teman ku, Nana, Lusi, dan Yani yang sedang
makan disalah satu meja disudut kantin ini. Lusi melirik ke arah ku dan
melambaikan tangan sambil tersenyum
manis. Aku terdiam, sekali lagi aku hanya bisa terdiam. Kepalaku terasa
sangat berat, seperti berputar-putar
tidak karuan, seluruh badanku terasa lemas dan tiba-tiba semua menjadi
samar-samar. Ku paksakan diri melangkah menuju ke meja tempat aku melihat
teman-teman ku, sesaat semua mulai gelap.
Aku mulai membuka mata, perih. Sedikit terasa menyilaukan
mata, diruangan serba putih ini. Perlahan mulai jelas dan kulihat satu persatu
wajah teman-temanku.
“ri, syukurlah kamu sadar. Kami khawatir” ucap Nana sambil
memeluk ku.
“iya ri, kamu kenapa? Kamu kurang istirahat ya akhir-akhir
ini? Pokoknya kami akan jagain kamu, kamu tidak boleh tidur larut malam lagi
ya” ucap Yani sambil memegang tanganku.
Aku mulai bingung. Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba aku berada
diruangan seperti ini dengan kondisi ada selang
hijau yang menempel di pergelangan tanganku. Aku mencoba duduk, namun
terasa sangat sakit dan kepalaku masih terasa berat, aku meringis.
“ri, sudahlah, tiduran saja, kami disini kok bersamamu.
Maafkan kami ya ri” ucap Lusi sembari membenarkan posisi bantal.
“lusi, na, yani? Kenapa aku disini? Apa yang baru saja aku
alami? Aku belum ingat” ujar ku kepada ketiga teman-temanku. Mereka hanya menunduk
dan terlihat sedih. Lama aku menunggu jawaban dari mereka yang saling membisu.
“lusi? Ada apa? handphone ku dimana ya?” tanya ku pada Lusi
Seketika aku terdiam. Handphone. Aku mengingat apa yang
terjadi sebelum aku diruangan ini. Aku tersentak. Terdiam. Lalu dengan segala
kepanikan aku mencari-cari telpon genggamku. Aku merogoh semua kantong bajuku,
dan memeriksa tas yang ada disamping ku. Aku tidak menemukannya juga. Aku
panik.
“sudahlah ri. Cukup .” ucap Lusi sambil menangis memelukku
Aku tidak menghiraukan Lusi dan teman-temanku. Aku tetap
mencari telpon genggamku, airmata tak hentinya mengalir bersama kepanikan ku.
“Suri, sudah, hentikan. Tenang Suri dia akan baik-baik saja”
ucap Yani sambil menenangkanku
Aku terdiam. Menutup wajah dengan kedua telapak tanganku
sambil menahan airmata yang tak henti membasahi pipiku. Aku terisak dalam diam.
Ketiga teman-temanku memelukku. Aku semakin terisak dan hatiku menjerit.
“ maafkan aku Suri. Maafkan aku. Sebenarnya aku telah lama
tau kondisi Agung. Jujur aku tak sengaja mendengar saat dia lagi nelvon mama
nya saat kita bikin jurnal di perpus 7 bulan lau. Waktu itu aku mau segera
memberitahukanmu, tapi Agung melarangku.
Dia sangat mengkhawatirkan perasaanmu jika mengetahui kondisi dia sebenarnya.
Aku tak bisa berbuat apa-apa ri. Aku bingung, plis maafin aku ri” ucap Lusi
tertunduk
Aku hanya terdiam. Sekali lagi aku hanya bisa diam, mengela
nafas panjang dan membuangnya lirih.
***
Teringat 7 bulan lalu, saat aku masih sangat dekat dengan
Agung, sahabatku. Agung menemaniku dan teman-temanku menyelesaikan tugas jurnal.
Agung sebagai orang yang telah berpengalaman dalam hal tulis menulis sengaja
kami minta menjadi editor untuk merevisi tugas jurnal kami. Aku telah lama
bersahabat dengan Agung. Sahabat yang sangat dekat. Aku mengenal Agung saat
pertamakali menginjakkan kaki dikampus tercinta. Waktu itu aku hampir
keserempet motor, hingga barang-barang bawaan ku dari rumah berserakan dijalan.
Sipengendara motor itu berhenti dan membantu membereskan barang2ku, bahkan mengantarkanku
hingga tempat kos ku yang tidak jauh dari kampus. Itulah pertamakali aku
mengenal Agung. Pertamakali aku bertemu dan dengan hormat dia memintaku untuk
menjadi sahabatnya. Saat itu aku mulai bersahabat dengan Agung.
Agung dan aku
seperti sahabat yang sangat klop,
sebenarnya Agung lebih menganggap aku sebagai seorang adik katanya, karna kami
terpaut usia 3 tahun. Sedangkan aku terbiasa saja dengan istilah
“persahabatan”. Pernah sekali Agung
minta aku panggil sebutan ‘Kakak’ padanya, tapi aku menolak dengan caraku,
karna terasa aneh bagiku dengan sebutan itu. Aku terlebih dahulu mengenal Agung
sebagai seorang sahabat, maka selamanya adalah sahabat. Begitu definisiku.
Hari-hari berikutnya aku lebih sering bersama teman-teman
baruku Nana, Yani dan Lusi yang satu kosan denganku. Mereka bertiga juga
mengenal Agung karna Agung sering menemaniku
pulang dari kampus. Terutama Lusi, teman sekamarku, yang ternyata pernah satu
kompleks saat masih di Bandung dulu sebelum Agung pindah ke Solo. Aku bersahabat
dengan ketiga teman perempuan ku, dan juga Agung. Aku mengenal keluarga dari
sahabat-sahabatku itu, sekali sebulan kami berkunjung kerumah masing-masing tak
terkecuali Agung. Kami menjadi sangat
dekat.
Hingga suatu hari, hari yang sangat penting dalam hidupku.
Hari yang sangat berjuta rasanya. Hari itu Jum’at malam, Agung bersama kedua
orangtuanya datang kerumahku dengan suasana yang agak berbeda dari biasanya.
Agung resmi melamarku. Aku terkejut. Senang ataukah sedih? bercampur haru,
bingung, dan setengah tidak percaya. Agung yang selama ini lebih ku anggap
seperti sahabat baik ku, dan ku kira Agung lebih menganggapku sebagai seorang
adik. Aku sungguh tidak percaya, hingga sulit bagiku mengambil sebuah keputusan
karna memang aku belum siap dengan kondisi seperti ini. Sama sekali tak pernah terlintas
difikiranku.
Malam itu, ku lihat Agung berpakaian rapi. Rapi sekali dan
terlihat sangat berbeda dari hari biasanya. Aku sedikit pangling. Namun,
menoleh kebelakang ku dapati secarik mozaik, apakah aku pantas untuk pemuda
sesempurna Agung? Apa aku siap dengan segala konsekuensi nantinya jika aku
menerima lamaran ini? Otak ku berfikir. Agung yang bisa dibilang perfect
dikalangan anak muda seusianya pastilah banyak yang mengincarnya. Tentulah akan
banyak yang melirik sebelah mata jika aku bersanding dengan dia. Lagi pula, aku
terlanjur menganggap Agung seperti sahabat, selamanya sahabat. Dan hal yang
terpenting adalah, aku tidak merasakan ada getaran-getaran istimewa saat aku
bersama Agung. Aku kembali merasuki logika ku, apakah aku tega menolak lamaran
orang sebaik Agung? Apakah aku tega mempermalukan Agung dengan ke-sok jual
mahal-an aku padanya? Apa pendapat orang-orang nantinya gadis seperti ku
berani-berani nya menolak lamaran seorang Agung?
Fikiran ku berkecamuk. Bingung. Satu per satu kata yang
dapat ku cerna ku urai. Mencoba mencari kesimpulan dan membuat keputusan
sebijaksana mungkin. Dan saat terdengar namaku ditanyai lagi atas jawabannya,
aku gugup. Sekalipun aku tak berani memandang ke arah Agung. Aku terlalu pemalu untuk hal ini.
Aku menghela nafas panjang. Aku mulai mengangkat kepalaku, sekilas mataku
beradu pandang dengan Agung, kulihat dia sangat tenang. Darahku berdesir. Aku
mulai berkeringat dingin. Entah apa yang merasukiku, dengan berusaha tenang aku
coba menjawab pertanyaan itu;
“bismillah. Terimakasih sebelumnya kepada keluarga Bapak dan
Ibu Ridwan atas silaturrahimnya bersama Agung. Jujur Pak, Bu, saya sedikit
terkejut. Saya akan memberi jawaban atas lamaran ini dalam waktu 6 bulan kedepan.
Jika Ibu, Bapak, atau Agung tidak bersabar atas waktu yang saya tentukan,
mungkin bukan saya orang yang tepat untuk Agung.”
Aku menunduk, mengatur ritme nafasku. Jantungku sudah
bergemuruh tak karuan. Terdengar suara berbisik-bisik. Aku memejamkan mata demi
mempersiapkan diri menerima respon dari keluarganya Agung.
“Putri Suri Vitrani, insyAllah aku akan menunggu dengan
kesabaran hingga batas waktu yang kau tentukan.” Ucap Agung, sangat tenang dan
bijaksana
Aku menghela nafas panjang. Prosesi lamaran malam itu
berakhir dengan perasaan masing-masing dalam diriku, keluargaku, Agung dan
keluarganya. Rasanya sangat aneh aku meminta waktu selama itu? Bayangkan satu
semester dimasa perkuliahan, apa yang harus ku lakukan? Apa benar aku akan
menumbuhkan perasaan suka pada Agung dalam waktu 6 bulan? Lalu dengan senang
hati berkata menerimanya? Atau aku tetap menolak dengan alasan persahabatan?
Dengan menunggu selama 6 bulan dan Agung mendapatkan keputusan ‘tidak’? malam
itu, aku tidak bisa tidur. Ada beban fikiran tersendiri dari efek lamaran ini.
Entah apa yang terjadi pada Agung sekarang, aku tak terlalu mau menerka-nerka
perasaannya saat ini. Sangat sulit memejamkan mata hingga dini hari sekitar
pukul 04.16 WIB aku baru mulai merebahkan tubuh diatas kasur.
Setelah malam prosesi
lamaran itu, aku jadi agak canggung untuk bertemu Agung. Aku lebih
sering menghindar dari Agung. Bukan karna apa-apa, tapi aku hanya merasa tidak
enak dan malu pada Agung. Akhirnya aku menyibukkan diri dengan teman-teman
dikosan ku. Membuat berbagai karya. Mulai dari lomba paper, essay, belajar
masak bahkan sampai mengajar privat di salah satu tempat bimbel milik orangtua
Yani.
Hari-hariku berlalu tanpa Agung, yang ternyata juga tengah
sibuk dengan proyeknya di luar kota. Jadilah aku dan Agung benar-benar terpisah
dari jarak dan waktu. Aku mulai merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
Sepertinya telah terjadi sesuatu padaku. Akhir-akhir ini aku lebih sering
melamun, lebih senang sendirian memandangi foto-foto yang ada di laptop. Terkadang
tanpa sengaja aku larut dalam alunan musik klasik hingga aku menitikkan airmata
saking menghayati lirik lagu tersebut. Terkadang juga, aku sangat ceria, sangat
bahagia, tersenyum tidak jelas. Tapi dilain waktu teman-teman sering
mendapatiku sedang duduk termenung
dibalik jendela kamar sambil memandangi bunga-bunga merah itu.
Pernah sekali, teman-teman meledekku karna aku ketahuan
menulis sebuah puisi romantis. Hal yang sangat tidak biasa ku lakukan. Aku
bukan tipe gadis melankolis yang menyukai puisi, apalagi menulisnya. Namun
entah motivasi dari mana tiba-tiba bait demi bait begitu lancer ku tulis dalam
selembar kertas bergambar bunga mawar merah. Puisi tentang sebuah kerinduan.
Rindu. Ya, aku teringat seseorang saat menuliskannya. Aku merindukan seseorang.
Aku sangat rindu. Mungkinkah kerinduan ini yang membuatku sering bertingkah
aneh dari biasanya? Atau bisa jadi, apa aku mulai menaruh rasa pada orang ini? Aku
tak menjawab terlalu cepat. Aku belum bisa menterjemahkannya
Lima bulan berlalu, bukan waktu yang cepat bagiku. Lima
bulan benar-benar aku tak pernah bertemu lagi dengan Agung, sahabatku. Ada rasa
yang berkecamuk. Memang benar, telah terjadi sesuatu padaku. Entah mulai kapan,
entah bagaimana, entah kenapa, aku pun tak dapat menjelaskannya. Ada sebuah
harapan, ada sebuah keinginan, dan ada sebuah taman yang mulai bermekaran
dihatiku. Aku tau, bahwa tepat satu bulan lagi, aku akan memberikan sebuah
jawaban kepada Agung. Aku menanti kedatangannya. Aku ingin segera ia tau bahwa
aku juga mempunyai rasa yang sama. Aku menjadi terpenjara sendiri dalam batas
waktu yang ku tentukan dulu. Satu bulan. Lama ku rasa sekarang.
Enam bulan. Akhirnya. Tepat hari jum’at Agung akan kerumahku lagi untuk meminta
jawaban dariku. Dan aku sudah siap memberikan jawaban itu. Aku mempersiapkan
segalanya. Aku mempersiapkan baju terbaik, dan wajah secerah mungkin untuk
menyambut kedatangannya. Kedua orangtuaku seperti mengerti akan jawaban yang
akan ku berikan. Mereka sangat mendukungku. Hari ini terlihat sangat cerah dan sempurna.
Aku bahagia. Tak sabar menunggu malam tiba.
Kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul 9 malam, aku
mulai resah. Harusnya jam 7 malam ini Agung sudah datang kerumahku. Bahkan
sampai sekarang tak ada kabar darinya, atau pun keluarganya. Aku masih tetap
menunggu. Hingga tak sadar Ibu membangunkanku yang ketiduran di ruang tengah.
Menyuruhku untuk pindah ke kamar. Ku lihat arloji, pukul 3 pagi pikirku. Aku
memandang ibu, dan hanya gelengan kepala yang kudapati. Aku kecewa.
Sebenar-benarnya kecewa. Sedih dan sangat menyakitkan terasa. Aku mulai
berfikir aneh lagi. Apakah Agung lupa hari ini tepat 6 bulan setelah hari itu? Apakah
Agung sudah melupakanku? Apa Agung tidak sabar menunggu terlalu lama hingga ia telah
suka pada gadis lain ditempat kerjanya? Apakah salahku yang membentangkan waktu
terlalu lama? Aku bingung. Aku sedih. Dan aku, menangis.
Seminggu setelah itu aku tak jua menerima kabar dari Agung.
Aku tak tau dia dimana dan apa yang terjadi padanya sekarang. aku lebih sering
diam dan sangat menutup diri. Aku telah berazzam, tak kan mengatakan atau pun
menanyakan apaun tentang Agung pada siapa pun , termasuk teman-teman kosanku.
Aku mulai membencinya, tega sekali dia menggantungkan aku seperti ini. Bukankah
seharusnya dia yang menungguku dengan pengharapan? Kenapa sekarang hal itu yang
terjadi padaku. Aku sangat kesal. Kenapa aku memberikan kesempatan untuk
perasaan itu tumbuh? Ya Tuhan, aku membencinya, walau batinku tak bisa berbohong bahwa aku mencintainya dan
ingin dia datang.
Hingga sekarang, hari ini, pagi tadi saat dikantin dekat
kampus ku terima 9 pesan dan 7 panggilan tak terjawab dari nomor handphone nya
Agung. Pesan singkat yang membuatku menangis, bahkan hingga saat ini,
“Suri, maafkan aku.
Harusnya aku datang seminggu yg lalu kerumahmu untuk menagih jawaban itu. Tapi
sekali lagi maaf membuatmu menunggu, 10 hari yg lalu aku berangkat ke London
utk menjalani operasi jantungku yg semakin tidak berfungsi. Akan sangat senang
jika jantungku masih bisa bergetar saat menemuimu nanti. Doakan aku.
Yang senantiasa
menunggumu”
***
Dalam hati, aku berjanji. Akan ku katakan segala hal yang
ingin kau dengar. Tak kan ku ulur lagi walau sedetik untuk mengatakan jawaban
itu. Walau sekali, tolong dengarkan aku mengatakannya padamu. Aku akan sangat
menyesal jika kau tak sempat mendengarnya langsung dariku. Dan, akan kukatakan “Ya…” untuk setiap detak
jantungmu.
Dikutip dari curhatan sang teman, "Yamanef"
hmm, bagus banget isi ceritanya, emhh atau bisa jadi 'kisahnya' (sepertinya ini nyata).
BalasHapuskembangkan terus bakat menulismu, Lina!
Yamanef menginspirasi :)
makasih ira ...
BalasHapustulisan ira lebih bagus
ini dikutip dari kisah nyata, tapi ada beberapa perubahan nama dan beberapa kisah. namanya juga cerita fiksi, butuh sedikit pemanis :)
Ternyata Lina pinter nulis yaa,, bakat yg tersembunyi nih :)
BalasHapusWah ada pia :D
BalasHapusjadi enak hehe