Uang kuliah tunggal
atau familiar dengan sebutan UKT baru-baru ini meramaikan dunia pendidikan
khususnya di perguruan tinggi negeri. Banyak pihak yang pro dan kontra dengan
kebijakan baru ini. Pasalnya, UKT tidaklah memberikan solusi untuk permasalahan
biaya pendidikan bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi kalangan menengah ke
bawah yang bercita-cita mengenyam pendidikan di bangku kuliah.
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendikbud) menjadi kementerian yang paling
disorot di Tahun 2013. Kementerian yang dikepalai oleh Bapak M. Nuh ini
mengeluarkan berbagai kebijakan yang fenomenal mulai dari perubahan kurikulum
pembelajaran; penambahan jumlah paket soal dalam Ujian Nasional; proses seleksi
masuk perguruan tinggai; dan penentuan uang kuliah tunggal yang di mulai pada
mahasiswa angkatan 2013/2014.
Berdasarkan Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Nomor 55 Tahun 2013 tentang Uang Kuliah
Tunggal, UKT adalah sebagian biaya kuliah tunggal ditanggung setiap
mahasiswa berdasarkan kemampuan ekonominya, ditetapkan berdasarkan biaya kuliah
tunggal dikurangi biaya yang ditanggung oleh Pemerintah. Biaya yang ditanggung
oleh pemerintah merupakan amanat UU No. 12 tahun 2012, Bahwa berdasar pasal 83,
Pemerintah menyediakan dana Pendidikan Tinggi yang dialokasikan dalam APBN dan
Pemda dapat memberikan dukungan dana pendidikan tinggi yang dilokasikan dalan
APBD. UKT ini terdiri atas beberapa kelompok yang ditentukan berdasarkan
kelompok kemampuan ekonomi masyarakat (proposional). Pembagian
kelompok-kelompok ini dimaksudkan agar semua masyarakat dapat mengenyam
pendidikan perguruan tinggi, dengan sistem subsidi silang, “Si Kaya membantu Si Miskin”.
Apabila pemerintah telah menyediakan
dana pendidikan tinggi, lantas apakah mahasiswa masih harus ikut menanggung
biaya pendidikannya? Jawabannya adalah IYA, karena dalam Pasal 76
ayat (3) UU 12/2012 menjelaskan “Perguruan Tinggi atau penyelenggara
Perguruan Tinggi menerima pembayaran yang ikut ditanggung oleh Mahasiswa untuk
membiayai studinya sesuai dengan kemampuan Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau
pihak yang membiayainya.” Ketentuan lebih lanjut tentang Pasal 76 ayat (3)
tersebut diatur dalam peraturan menteri.
Pasal 88 ayat (4) UU 12/2012
memberikan aturan kepada Perguruan Tinggi Negeri untuk menetapkan biaya yang
ditanggung oleh Mahasiswa, yaitu harus disesuaikan dengan kemampuan ekonomi
Mahasiswa, orang tua Mahasiswa, atau pihak lain yang membiayainya. Dan dalam
ayat (5) menjelaskan ketentuan lebih lanjut mengenai standar satuan biaya
operasional Pendidikan Tinggi diatur dalam Peraturan Menteri. Maka nampak jelas
bahwa UU 12/2012 di dalam Pasal mengamanatkan untuk dibentuknya peraturan
menteri terkait biaya pada pendidikan perguruan tinggi.
Amanat UU 12/2012 saat ini telah
dilaksanakan, Kemendikbud akhirnya mengeluarkan Permendikbud No. 55/2013 untuk
mengatur biaya kuliah tunggal, kini uang kuliah tunggal ditanggung oleh mahasiswa
angkatan tahun 2013/2014. Sebelum Permendikbud No. 55/2013 dibuat, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) melakukan kewenangan bebasnya untuk
mengeluarkan Surat Edaran tentang UKT pada tanggal 5 Februari 2013, Surat Edaran (SE) dengan Nomor 97/E/KU/2013. SE No. 97/E/KU/2013 tersebut
meminta agar perguruan tinggi untuk menghapus uang pangkal mahasiswa baru
program S1 reguler mulai tahun akademik 2013/2014, serta menetapkan dan
melaksanakan tarif UKT bagi mahasiswa baru program S1 reguler mulai tahun
akademik 2013/2014.
Setelah SE No. 97/E/KU/2013
dikeluarkan, beberapa bulan kemudian disusul dengan terbitnya SE
No. 272/El.l/KU/2013 pada tanggal 3 April 2013 yang sama masih
mengatur tentang UKT. Pada SE No.272/E1.1/KU/2013 memberikan aturan kepada perguruan
tinggi yang akan menetapkan tarif UKT agar sesuai dengan amanat yang diberikan
oleh undang-undang, aturan itu sebagai berikut:
1. Tarif UKT sebaiknya dibagi atas 5
kelompok, dari yang paling rendah (kelompok 1) sampai yang paling tinggi
(kelompok 5);
2.
Tarif
UKT kelompok yang paling rendah (kelompok 1) rentangnya yang bisa dijangkau
oleh masyarakat tidak mampu (misal: kuli bangunan, tukang becak, dll), misal
Rp0,- s.d. Rp500 000;
3.
Paling
sedikit ada 5% dari total mahasiswa yang diterima membayar UKT kelompok 1;
4.
Untuk
kelompok 3 s.d. 5 masing-masing membayar UKT sesuai dengan kemarnpuan
ekonominya, dirnana kelompok 5 merupakan kelompok dengan UKT tertinggi sesuai
dengan program studi masing-masing;
5. Paling sedikit ada 5% dari total
mahasiswa yang diterima membayar UKT kelompok 2 dengan rentang Rp500 000 sampai
Rp1 000 000.
Berdasarkan aturan mengenai tariff
UKT yang telah ditetapkan, fakta yang terjadi adalah masih banyak mahasiswa
yang sebenarnya termasuk pada golongan 1 namun dikenai biaya UKT untuk golongan
4. Ini menunjukkan bahwa UKT tidak tepat sasaran, bahkan bisa dikatakan
universitas yang bersangkutan telah asal
tembak untuk penentuan tarif UKT kepada mahasiswa baru. Jika kasus seperti
ini terjadi kepada banyak mahasiswa, maka UKT bukanlah jalan terbaik untuk
mewujudkan UUD ‘45 yakni mencerdaskan
kehidupan bangsa. Bagaimana mungkin bangsa ini akan cerdas dan dapat
mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi, jika masalah biaya untuk
pendidikan masih belum terselesaikan dengan baik.
Pasal 76 ayat 2a dan 2b menjelaskan
tentang pemenuhan hak mahasiswa yaitu dengan cara pemberian beasiswa kepada
mahasiswa berprestasi dan memberikan bantuan atau membebaskan biaya pendidikan
kepada yang membutuhkan. Pada kenyataannya pemberian beasiswa pun masih belum
tepat sasaran, mahasiswa yang berasal dari keluarga mampu justru mendapatkan
beasiswa yang seharusnya didapatkan oleh mahasiswa yang kurang mampu. Ini
merupakan sebuah kelalaian lembaga yang bersangkutan, seharusnya penjaringan
dan proses seleksi untuk beasiswa ini lebih diperketat agar tidak salah sasaran
seperti yang sudah banyak terjadi di lapangan.
Sosialisasi mengenai UKT di
perguruan tinggi dirasa masih sangat minim. Bahkan tidak semua mahasiswa yang
ada di perguruan tinggi faham tentang system UKT. Badan eksekutif mahasiswa
(BEM) merupakan wadah yang memfasilitasi mahasiswa di perguruan tinggi untuk
sosialisasi mengenai UKT, namun kegiatan sosialisai ini masih kurang efektif
karena penyampaian yang dilakukan tidak begitu detail sehingga menimbulkan
makna ganda tentang UKT. Perhitungan tarif UKT sendiri digolongkan ke dalam
lima kluster, dengan kluster 1 adalah golongan UKT paling rendah dan kluster 5
adalah golongan UKT paling tinggi.
Dampak yang dirasakan dengan adanya
UKT ini adalah ketika terjadi salah sasaran penentuan kluster. UKT justru akan
menjadi ancaman jika ternyata salah sasaran. Mahasiswa korban salah saran yang
berasal dari golongan satu bisa saja berhenti kuliah hanya karena tidak mampu
membayar UKT yang seharusnya dibayar oleh golongan lima. Akan banyak
ketidakadilan yang terjadi jika kebijakan ini tidak dijalankan dengan hati-hati
dan penuh perhitungan. Jika sudah seperti itu, maka anak-anak bangsa yang akan
menjadi korban dari ketidakadilan yang tidak terrencana ini.
Ketika tujuan UKT
adalah untuk memberikan peluang KULIAH
kepada mereka yang membutuhkan, apakah kita TEGA merubahnya menjadi ANCAMAN
yang menyeramkan untuk MASA DEPAN
anak-anak BANGSA ?