Sore itu masih sama seperti sore-sore yang telah lalu, masih
dihiasai dengan rintihan hujan yang terkadang disaut dengan petir yang
menyala-nyala. Wajah kampus pun menjadi semakin hijau dan segar dengan guyuran
hujan ini. Namun tidak dengan Azka, ia terlihat sangat lain dari biasanya. Wajahnya
terlihat begitu suram, tidak terlihat sedikit semangat pun dari dalam dirinya. Padahal
ia adalah sosok yang paling ceria diantara teman-temanku yang lain, jarang
sekali, bahkan hampir tak pernah ia terlihat sedih dimataku. Tapi kali ini
benar-benar berbeda. Apa sebenarnya yang sedang terjadi, fikirku.
Ia berjalan dibawah hujan, tanpa payung dan tanpa rain code. Aku yang tengah duduk di
halte menunggu bus kampus mencoba menghampirinya saat ia mulai mendekat.
“Azka, Azka” panggilku sambil melambaikan tangan pada Azka
“Hai” jawab Azka singkat dengan senyum yang agak terpaksa
sambil melambaikan tangannya padaku seraya berlalu.
Aku semakin bingung, “ko dia aneh banget sih, seperti raga
tanpa nyawa” gumamku dalam hati.
Berjalan dengan tatapan kosong, sambil mendekap beberapa
buku yang dilindungi dibalik jaket dari guyuran hujan. Saat ku perhatikan,
matanya sedikit berkaca-kaca, “Mungkin dia menangis di tengah hujan, agar tidak
ada orang yang tahu” terkaku.
***
“Baiklah teman-teman, karena acara pelepasan wisudawan kali
ini dipegang oleh angkatan kita, seperti biasa, kita bergerak sesuai job
masing-masing” Tegas Abid sebagai ketua angkatan
“Siaaaaaapppp” jawab seisi kelas sambil mengacungkan jempol
tanda setuju
Kulihat, Azka hanya berdiam diri di pojok kelas sambil
memegang MP3 dan headset di
telinganya. Tanpa respon apapun atas penjelasan Abid. Aku pun mencoba memanggilnya
melalui Briza yang duduk di dekatnya. Briza pun menyolek Azka dan
memberitahunya kalau aku memanggilnya.
Aku mengangkat selembar kertas dengan emoticon smile dan
menunjukkannya kepada Azka, dia pun memberikan senyumnya kepadaku. Namun hanya
sekilas, dan dia pun kembali dengan posisinya, kembali ke dunianya sendiri.
Akhirnya aku semakin penasaran dengan sikap Azka yang
berubah beberapa hari terakhir ini, aku putuskan untuk menyelidikinya. Aku ikuti
kemanapun dia pergi, seperti biasa. Kemana Azka pergi, maka disana ada aku. Karena
kami memang sangat klop.
Aku mengajak Azka untuk makan siang di Kantin Kerinduan,
tempat makan favorit kami.
“Mau makan apa, biar aku pesankan” tanyaku kepada Azka
“Aku tidak mau makan, pesan minum saja 1” jawabnya singkat
“Oke” aku pun berlalu menemui Bu Haji, penjual di Kantin
Kerinduan
Sambil menunggu pesanan kami datang, hari itu aku seperti
menjadi orang lain. Aku perhatikan penuh raut wajah Azka, aku mencoba merasuki
fikirannya, berusaha menerka apa yang sedang terjadi. Namun gagal, karena aroma
masakan di Kantin membuyarkan fikiranku.
Akhirnya aku putuskan untuk membuka pembicaraan, karena sedari
tadi tidak ada percakapan antara aku dan Azka.
“Azka, boleh aku bertanya sesuatu ?” Tanyaku
“Ya” jawabnya dengan tetap menatap kedepan tanpa
menghiraukan aku yang berada di sampingnya
“Emmm, kenapa kamu tidak makan?” aku mengganti pertanyaanku
karena merasa tidak enak hati kepada Azka
“Aku tidak lapar” tegasnya
“Oooohh” timpalku seraya berangguk antara mengerti dan heran
Suasana pun kembali hening di meja makanku, walaupun
sebenarnya kantin ini ramai pengunjung. Aku berfikir keras sambil memainkan
jemari tanganku di meja, dan ternyata hal itu membuat Azka merasa terganggu.
“Tolong hentikan permainan jarimu” ucap Azka kepdaku sambil
menoleh dengan tatapan mata yang tajam
“Eh iya, maaf , maaf ya Azka” aku gugup dan menjadi salah
tingkah dengan sikap Azka
Pesananpun dating, akhirnya aku memakan makananku dan Azka
hanya berdiam diri sambil menatap jauh kedepan.
Suara HP Azka berdering tanda ada telpon masuk, Ia pun
mengambilnya dari dalam tas dengan terburu-buru seperti sedang menunggu telpon
penting dan langsung berpindah tempat seolah aku tidak boleh tahu obrolannya.
Aku teruskan makanku, ketika aku menoleh ke lantai, aku
lihat ada kertas bermotif bunga biru tergeletak di lantai. Aku pun mengambil
kertas itu. Saat aku hendak membukanya, Azka kembali dan aku segera memasukkan
kertas itu kedalam tasku.
“Telpon dari siapa, kok sampai pindah tempat” tanyaku
“Bukan siapa-siapa” jawabnya ketus
Aneh, ini aneh dan sangat tidak biasa. Azka seperti
kehilangan jati dirinya. Kehilangan semangat dalam hidupnya, kehilangan
keceriaan dalam dirinya.
***
Seminggu berlalu, dan Azka tidak masuk kuliah setelah
terakhir kali aku makan siang bersamanya. Tak ada satupun yang tahu keberadaan
dan kabar Azka. Akhirnya aku putuskan untuk main ke rumahnya sehabis kuliah.
“Assalamu’alaikum, tante ini Nesya” Ucapku sambil mengetuk pintu
rumah Azka
“Assalamu’alaikum” kembali aku mengetuk pintunya, namun
tetap tidak ada jawaban
Akhirnya ada tetangga rumah Azka yang keluar dan
memberitahuku kalau penghuni rumah sedang di rumah sakit.
“Siapa yang sakit Pak?” tanyaku kepada tetangga rumah Azka
“Azka, seminggu yang lalu dia melakukan percobaan bunuh diri”
jelas Bapak separuh baya itu
“Innalillahi, benarkah itu pak? Seperti apa kronologinya?”
tanyaku heran bercampur tidak percaya
“Wah kalau itu Bapak kurang mengerti Nak” ucapnya
“Eeem, Bapak tahu sekarang Azka di rawat di mana?” tanyaku
kembali
“Kalau tidak salah di RS. Sifa Fadilah” jawabnya
“Oh , baiklah terima kasih Pak atas informasinya” aku pun
segera berlalu